Kota Tangerang yang kini dikenal sebagai salah satu kawasan penyangga utama Jakarta ternyata menyimpan sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Sejarah berdirinya Kota Tangerang tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial di Pulau Jawa selama berabad-abad. Dari wilayah yang dulunya masih berupa hutan dan perkampungan kecil, Tangerang tumbuh menjadi pusat perdagangan strategis, kemudian menjadi medan perebutan kekuasaan pada masa kerajaan hingga kolonialisme Belanda. Kini, Tangerang telah bertransformasi menjadi kota metropolitan modern yang terus berkembang pesat di sektor industri, ekonomi, dan permukiman.
Posisi geografis Tangerang yang strategis menjadi salah satu alasan mengapa wilayah ini memiliki nilai penting sejak masa lampau. Terletak di sebelah barat Jakarta dan dilalui oleh Sungai Cisadane, Tangerang sejak awal menjadi jalur perdagangan dan transportasi penting yang menghubungkan wilayah barat Pulau Jawa dengan pelabuhan-pelabuhan besar di pesisir utara. Faktor inilah yang membuat kawasan ini selalu menjadi incaran kekuatan politik sejak masa kerajaan Hindu-Buddha, masa kesultanan Islam, hingga masa kolonial Eropa.
Perjalanan panjang Tangerang dari masa kerajaan hingga menjadi kota modern seperti sekarang tidak terjadi dalam sekejap. Ada banyak peristiwa penting yang mewarnai sejarahnya, mulai dari masa kekuasaan Kerajaan Sunda, ekspansi Kesultanan Banten, perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda, hingga akhirnya ditetapkan sebagai kota otonom pada akhir abad ke-20. Semua kisah ini menjadikan Tangerang bukan sekadar kota satelit Jakarta, tetapi juga wilayah yang memiliki identitas sejarah dan budaya yang kuat.
Awal Mula Tangerang di Masa Kerajaan Sunda
Jauh sebelum dikenal sebagai kota besar seperti sekarang, wilayah yang kini bernama Tangerang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berpusat di Pakuan Pajajaran (kini Bogor). Pada masa itu, Tangerang dikenal sebagai kawasan pedesaan yang dipenuhi hutan lebat dan sungai besar. Sungai Cisadane menjadi jalur transportasi utama yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pesisir utara Pulau Jawa.
Meski saat itu belum memiliki peran besar secara politik, Tangerang sudah dikenal sebagai kawasan yang subur dan potensial untuk pertanian. Banyak penduduk yang hidup dari hasil bumi dan menjualnya ke wilayah pesisir seperti Sunda Kelapa. Hubungan dagang ini membuat Tangerang perlahan menjadi jalur penting dalam distribusi hasil pertanian dari pedalaman ke pelabuhan.
Nama “Tangerang” sendiri diyakini berasal dari kata “Tangger” yang dalam bahasa Sunda berarti penanda atau pembatas. Hal ini merujuk pada fungsi wilayah Tangerang sebagai batas kekuasaan antara Kerajaan Sunda di timur dan Kesultanan Banten di barat. Dalam beberapa catatan sejarah, wilayah ini sering disebut sebagai Tanggeran sebelum akhirnya berubah menjadi Tangerang seperti yang dikenal sekarang.
Pergeseran Kekuasaan: Tangerang di Bawah Kesultanan Banten
Perubahan besar dalam sejarah berdirinya Kota Tangerang terjadi pada abad ke-16 ketika pengaruh Islam mulai menguat di pesisir barat Jawa. Setelah runtuhnya Kerajaan Sunda akibat ekspansi Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten, wilayah Tangerang pun secara perlahan masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan Banten. Peran penting dalam ekspansi ini dimainkan oleh tokoh besar seperti Fatahillah dan Sunan Gunung Jati, yang berhasil merebut wilayah Sunda Kelapa dan kemudian memperluas pengaruh Islam ke daerah sekitarnya, termasuk Tangerang.
Pada masa Kesultanan Banten, Tangerang berperan penting sebagai wilayah penyangga kekuasaan dan jalur perdagangan. Sungai Cisadane tetap menjadi urat nadi utama distribusi barang dan hasil bumi. Selain itu, kawasan ini juga mulai dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam, dengan banyaknya pesantren dan ulama yang bermukim di sana. Perubahan ini menandai transisi penting dari masa kerajaan Hindu-Buddha ke masa pemerintahan Islam di Tangerang.
Kesultanan Banten juga membangun pos-pos pertahanan di sekitar Tangerang untuk mengamankan jalur perdagangan dari ancaman kekuatan asing, terutama Portugis dan Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa Tangerang bukan lagi sekadar wilayah perbatasan, tetapi telah menjadi bagian penting dalam struktur kekuasaan Banten.
Tangerang di Masa Penjajahan Belanda
Kehadiran bangsa Eropa membawa babak baru dalam sejarah berdirinya Kota Tangerang. Setelah Belanda melalui VOC berhasil menguasai Sunda Kelapa (yang kemudian berubah menjadi Batavia), mereka mulai memperluas kekuasaannya ke wilayah barat. Tangerang menjadi salah satu wilayah strategis yang sangat ingin dikuasai karena letaknya dekat dengan Batavia dan memiliki jalur sungai yang vital untuk transportasi dan perdagangan.
Pada tahun 1684, VOC berhasil memaksa Kesultanan Banten menandatangani perjanjian yang memberikan hak monopoli perdagangan kepada Belanda. Sejak saat itu, pengaruh VOC di Tangerang semakin kuat. Belanda membangun sejumlah pos militer dan benteng di sepanjang Sungai Cisadane untuk mengamankan jalur perdagangan mereka. Salah satu peninggalan penting dari masa ini adalah Benteng Makassar, yang hingga kini masih dikenal sebagai kawasan “Benteng” di Tangerang.
Namun, penguasaan Belanda tidak berjalan mulus. Rakyat Tangerang berkali-kali melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Salah satu yang terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Raden Aria Wangsakara, seorang bangsawan Banten yang menolak tunduk pada VOC. Ia bersama pengikutnya membuka perkampungan baru di tepi Sungai Cisadane dan terus melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Perjuangan Raden Aria Wangsakara kemudian dikenang sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah perlawanan rakyat Tangerang.
Masa Peralihan ke Pemerintahan Hindia Belanda
Memasuki abad ke-19, kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799. Pada masa ini, Tangerang mengalami perubahan besar dalam struktur pemerintahan. Belanda membagi wilayah Tangerang ke dalam sistem residentie (karesidenan) dan onderdistrict (kawedanan), serta mulai membuka lahan perkebunan skala besar, terutama untuk tebu dan kopi.
Pembangunan infrastruktur juga dilakukan secara masif. Jalan-jalan baru dibuka untuk menghubungkan Tangerang dengan Batavia dan daerah-daerah lain di Jawa Barat. Hal ini membuat peran Tangerang sebagai jalur distribusi barang semakin penting. Banyak pedagang Tionghoa yang bermukim di kawasan ini dan berperan besar dalam menggerakkan perekonomian, terutama di sektor perdagangan dan pertanian.
Kebijakan kolonial Belanda membawa dampak sosial yang besar bagi masyarakat Tangerang. Stratifikasi sosial semakin tajam, dan eksploitasi terhadap rakyat pribumi semakin meningkat. Meskipun demikian, semangat perlawanan tidak pernah padam. Perlawanan rakyat Tangerang terus berlanjut hingga awal abad ke-20, terutama melalui gerakan-gerakan lokal yang dipimpin oleh tokoh agama dan bangsawan setempat.
Tangerang di Masa Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Tangerang menjadi bagian dari Kabupaten Tangerang di bawah Provinsi Jawa Barat. Namun, masa-masa awal kemerdekaan tidak berjalan mulus karena Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia melalui agresi militer. Tangerang menjadi salah satu daerah yang mengalami pertempuran sengit antara pasukan Indonesia dan tentara Belanda.
Pada tahun 1946, Tangerang sempat dijadikan gemeente (kotapraja) oleh Belanda ketika mereka membentuk negara boneka Negara Pasundan. Namun, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, Tangerang kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia dan berstatus sebagai kabupaten dalam Provinsi Jawa Barat, sebelum akhirnya masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten setelah provinsi tersebut dimekarkan pada tahun 2000.
Lahirnya Kota Tangerang sebagai Daerah Otonom
Perjalanan panjang sejarah berdirinya Kota Tangerang mencapai babak penting pada 28 Februari 1993, ketika pemerintah Indonesia resmi menetapkan Tangerang sebagai kota otonom melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993. Pemekaran ini dilakukan karena pertumbuhan penduduk yang pesat dan perkembangan ekonomi yang sangat signifikan di wilayah tersebut. Tangerang kemudian memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang dan berdiri sebagai kota mandiri.
Sebagai kota otonom, Tangerang mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Infrastruktur dibangun secara masif, kawasan industri berkembang pesat, dan kawasan permukiman baru bermunculan. Tangerang juga menjadi rumah bagi berbagai fasilitas publik penting seperti bandara internasional Soekarno-Hatta, pusat pendidikan, rumah sakit, hingga kawasan perbelanjaan modern.
Kini, Tangerang telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 1,8 juta jiwa. Kota ini menjadi salah satu motor ekonomi penting di kawasan Jabodetabek dan terus bertransformasi menjadi kota modern yang nyaman untuk ditinggali sekaligus menarik bagi investor.
Sejarah berdirinya Kota Tangerang adalah kisah panjang tentang transformasi sebuah wilayah dari pedesaan kecil di tepi Sungai Cisadane menjadi kota metropolitan yang dinamis. Dimulai dari masa kejayaan Kerajaan Sunda, masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan Banten, mengalami masa kelam penjajahan Belanda, hingga akhirnya menjadi kota otonom modern, Tangerang telah melalui berbagai fase penting dalam sejarahnya.
Warisan sejarah tersebut masih bisa kita rasakan hingga hari ini, baik melalui situs-situs peninggalan kolonial seperti kawasan Benteng, maupun melalui nilai-nilai perjuangan tokoh-tokoh lokal seperti Raden Aria Wangsakara. Tangerang bukan sekadar kota penyangga Jakarta, tetapi juga kota dengan identitas dan sejarahnya sendiri yang kuat.
Perjalanan panjang ini menjadi pengingat bahwa kemajuan yang dinikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan panjang para pendahulu. Dengan semangat tersebut, Tangerang terus melangkah maju menjadi kota yang tidak hanya modern dan maju secara ekonomi, tetapi juga tetap menghargai akar sejarah dan budaya yang membentuknya.
FAQ
1. Dari mana asal nama Tangerang?
Nama Tangerang berasal dari kata “Tangger” dalam bahasa Sunda yang berarti penanda atau pembatas. Wilayah ini menjadi batas kekuasaan antara Kerajaan Sunda dan Kesultanan Banten.
2. Siapa tokoh penting dalam sejarah Tangerang?
Salah satu tokoh penting adalah Raden Aria Wangsakara, bangsawan Banten yang memimpin perlawanan rakyat Tangerang terhadap penjajahan Belanda.
3. Kapan Kota Tangerang resmi berdiri sebagai daerah otonom?
Kota Tangerang resmi berdiri sebagai daerah otonom pada 28 Februari 1993 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993.
4. Apa peran Sungai Cisadane dalam sejarah Tangerang?
Sungai Cisadane berperan penting sebagai jalur perdagangan dan transportasi utama sejak masa kerajaan hingga masa kolonial.
5. Apa peninggalan sejarah yang masih ada di Tangerang?
Beberapa peninggalan sejarah yang masih ada antara lain kawasan Benteng Makassar, situs makam Raden Aria Wangsakara, dan bangunan kolonial peninggalan Belanda.