Tradisi Lokal Masyarakat Tangerang yang Masih Bertahan di Tengah Modernisasi dan Menjadi Identitas Budaya Daerah

Ketika berbicara tentang Tangerang, kebanyakan orang langsung teringat pada kawasan industri modern, perumahan elit, dan pusat perbelanjaan megah. Namun di balik kemajuan tersebut, masih ada sisi lain yang tak kalah menarik, yaitu tradisi lokal masyarakat Tangerang yang tetap hidup di tengah arus modernisasi. Tradisi ini bukan sekadar ritual turun-temurun, tetapi juga simbol kebersamaan, identitas budaya, dan bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Menariknya, Tangerang merupakan daerah yang kaya akan keberagaman etnis dan budaya. Selain masyarakat Betawi dan Sunda, di sini juga hidup komunitas Tionghoa-Peranakan yang telah berbaur sejak ratusan tahun lalu. Perpaduan ini menciptakan warisan budaya unik mulai dari upacara adat, kesenian, hingga tradisi kuliner yang menjadikan Tangerang berbeda dari daerah lain di sekitarnya. Melalui artikel ini, kita akan menyelami ragam tradisi yang masih dilestarikan, kisah di baliknya, serta bagaimana generasi muda berupaya menjaga nilai-nilai tersebut agar tetap relevan di masa kini.

Keberagaman Budaya Sebagai Dasar Tradisi Tangerang

Sebelum membahas tradisi satu per satu, penting untuk memahami konteks sosial Tangerang. Wilayah ini sejak lama menjadi titik pertemuan budaya Betawi, Sunda, dan Tionghoa. Hal itu dapat terlihat dari bahasa, arsitektur, hingga pakaian adat yang kental dengan akulturasi. Karena itulah, tradisi lokal masyarakat Tangerang cenderung bersifat terbuka dan inklusif, dengan nilai gotong royong sebagai fondasinya.

Banyak tradisi yang lahir dari kehidupan agraris di masa lalu, ketika sebagian besar warga bekerja sebagai petani, nelayan, atau pengrajin. Di era industri sekarang pun, nilai-nilai solidaritas masih melekat dalam bentuk kegiatan sosial seperti syukuran, selamatan, dan arak-arakan budaya. Pemerintah daerah bahkan rutin menggelar festival kebudayaan untuk menghidupkan kembali tradisi lama agar dikenal generasi muda.

Tradisi Nadran – Ungkapan Syukur Laut dan Doa Para Nelayan

Salah satu tradisi lokal masyarakat Tangerang yang masih lestari hingga kini adalah Nadran, upacara adat masyarakat pesisir utara seperti di Kecamatan Kronjo dan Teluknaga. Nadran berasal dari kata Arab nadzar yang berarti janji atau syukur. Ritual ini dilakukan setiap tahun oleh nelayan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah dan doa agar selalu diberi keselamatan saat melaut.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat akan menghias perahu dengan warna-warni cerah, membawa sesajen berupa nasi tumpeng, hasil bumi, dan bunga ke tengah laut. Setelah doa bersama, sesajen dilepaskan ke laut sebagai simbol pengembalian rezeki kepada alam. Acara kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan musik tradisional, tari, dan pesta rakyat yang meriah. Selain menjadi tradisi spiritual, Nadran kini juga menjadi daya tarik wisata budaya bagi warga sekitar.

Perayaan Peh Cun – Warisan Tionghoa di Sungai Cisadane

Tangerang memiliki komunitas Tionghoa yang kuat, terutama di kawasan Pasar Lama. Salah satu tradisi yang paling terkenal adalah Peh Cun, festival perahu naga yang digelar di tepi Sungai Cisadane setiap bulan lima penanggalan Imlek. Tradisi ini sudah berlangsung selama lebih dari satu abad dan menjadi simbol kerukunan antar etnis di Tangerang.

Dalam perayaan Peh Cun, warga berlomba mendayung perahu naga dengan iringan musik tradisional. Di darat, masyarakat berkumpul menikmati jajanan khas seperti bakcang dan kue keranjang. Ada pula ritual unik menegakkan telur tepat pukul 12 siang yang dipercaya membawa keberuntungan. Selain nilai hiburan, Peh Cun juga memiliki makna ekologis karena mengingatkan masyarakat agar menjaga kebersihan Sungai Cisadane sebagai sumber kehidupan bersama.

Serentaun Cisoka – Pesta Panen Penuh Sukacita

Beralih ke wilayah pedesaan, terdapat tradisi Serentaun Cisoka yang merupakan bentuk syukuran hasil panen. Tradisi ini diwariskan dari masyarakat agraris Sunda yang mendiami wilayah Tangerang Barat. Serentaun diadakan setiap tahun setelah musim panen padi dengan mengarak hasil bumi, pertunjukan kesenian rakyat, dan doa bersama.

Puncak acara biasanya diisi dengan kirab budaya dan tarian Jaipong serta debus Banten. Warga membawa nasi tumpeng raksasa sebagai simbol kemakmuran dan berbagi makanan kepada sesama. Filosofinya sederhana namun dalam: semakin banyak kita berbagi rezeki, semakin besar pula berkah yang akan kembali. Bagi warga, Serentaun bukan sekadar pesta, tapi juga pengingat pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.

Tradisi Mapag Tirta – Menyambut Musim Tanam

Di beberapa desa di Kecamatan Mauk dan Kresek, masyarakat masih melaksanakan Mapag Tirta, tradisi menyambut datangnya musim tanam. Upacara ini dilakukan di sumber mata air atau sungai kecil yang menjadi irigasi sawah. Tokoh adat akan memimpin doa, kemudian warga membawa air tersebut ke sawah sambil menabur bunga dan padi muda.

Ritual ini melambangkan harapan agar air membawa kesuburan dan hasil panen melimpah. Setelah prosesi selesai, diadakan makan bersama dan pertunjukan seni tradisional seperti gamelan Sunda dan wayang golek. Mapag Tirta juga menjadi ajang silaturahmi antarpetani dan bentuk penghormatan terhadap alam yang memberi kehidupan.

Debus Banten – Seni Bela Diri yang Sarat Makna Spiritual

Tidak bisa membahas budaya Banten tanpa menyebut Debus, kesenian bela diri yang sudah dikenal sejak masa Kesultanan Banten. Di Tangerang, pertunjukan Debus masih sering tampil dalam acara adat, pernikahan, atau festival budaya.

Debus bukan sekadar atraksi kekebalan tubuh—seperti menusuk diri dengan benda tajam tanpa luka—tetapi juga memiliki nilai spiritual yang tinggi. Para pemain Debus menjalani puasa dan doa khusus agar memiliki kekuatan batin. Dalam konteks tradisi lokal masyarakat Tangerang, Debus menjadi simbol keberanian dan keimanan masyarakat terhadap kekuasaan Tuhan.

Kini, pertunjukan Debus telah dimodifikasi agar lebih aman dan edukatif tanpa mengurangi nilai budayanya. Banyak sekolah dan komunitas seni yang menjadikannya warisan budaya tak benda yang harus dijaga generasi muda.

Sedekah Bumi – Wujud Syukur dan Kebersamaan Warga Desa

Tradisi Sedekah Bumi juga masih bertahan kuat di wilayah Tigaraksa dan Rajeg. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki hasil bumi dan keselamatan desa. Biasanya diadakan setelah musim panen atau menjelang bulan Muharram.

Warga membawa hasil panen seperti padi, jagung, dan buah-buahan untuk dikumpulkan di balai desa. Setelah doa bersama, makanan dibagi kepada seluruh warga sebagai simbol kebersamaan. Acara ini sering disertai pertunjukan lenong, wayang golek, hingga lomba tradisional anak-anak. Meski sederhana, Sedekah Bumi menjadi simbol persatuan yang memperkuat ikatan sosial antarwarga Tangerang.

Upacara Adat Peranakan – Warisan Unik Etnis Tionghoa Benteng

Tangerang memiliki komunitas Tionghoa Benteng yang terkenal dengan budaya Peranakan mereka. Salah satu tradisi lokal masyarakat Tangerang yang menonjol adalah upacara adat dalam pernikahan dan perayaan Imlek. Masyarakat Tionghoa Benteng masih mempertahankan tradisi Sembahyang Kubur dan Sembahyang Ceng Beng yang dilakukan untuk menghormati leluhur.

Selain itu, mereka juga memiliki kesenian khas seperti Gambang Kromong, Tanjidor, dan Barongsai Benteng yang memadukan unsur Tionghoa dan Betawi. Dalam festival tertentu, misalnya saat ulang tahun Klenteng Boen Tek Bio, masyarakat dari berbagai etnis ikut terlibat dalam arak-arakkan dan pertunjukan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa Tangerang adalah contoh nyata harmonisasi lintas budaya di Indonesia.

Perayaan Muludan dan Maulid Nabi – Tradisi Keagamaan yang Meriah

Sebagian besar masyarakat Tangerang memeluk agama Islam, sehingga tradisi Muludan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi agenda tahunan yang meriah. Setiap kampung biasanya memiliki cara unik merayakannya. Ada yang menggelar arak-arakan panjang mulud berisi replika perahu, unta, dan kubah masjid, ada pula yang mengadakan pengajian akbar serta pembacaan Shalawat Barzanji.

Selain memperingati kelahiran Nabi, acara Muludan juga menjadi momen silaturahmi antarwarga. Setelah doa bersama, masyarakat menyantap makanan khas seperti nasi kebuli, dodol Betawi, dan ketan serundeng. Tradisi ini menggambarkan semangat religius yang berpadu dengan nilai sosial dan budaya lokal.

Gotong Royong dan Ronda Malam – Tradisi Sosial yang Tak Lekang Waktu

Meski terdengar sederhana, semangat gotong royong dan ronda malam masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Tangerang. Setiap RT memiliki jadwal rutin kerja bakti membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan, hingga menjaga keamanan malam hari.

Nilai-nilai kebersamaan ini merupakan warisan budaya yang diwariskan sejak lama. Dalam pandangan warga, menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah tetapi tanggung jawab bersama. Tradisi ini sekaligus menumbuhkan rasa kepedulian sosial di tengah kehidupan kota yang semakin individualistis.

Upaya Pelestarian Tradisi oleh Generasi Muda

Tantangan utama dalam menjaga tradisi lokal masyarakat Tangerang adalah perubahan gaya hidup generasi muda yang cenderung modern dan digital. Namun, bukan berarti tradisi ini akan hilang. Kini, banyak komunitas lokal dan lembaga pendidikan di Tangerang yang berinisiatif memperkenalkan budaya daerah melalui festival, lomba, dan kegiatan kreatif di media sosial.

Pemerintah Kota Tangerang juga rutin mengadakan Festival Budaya Cisadane yang menampilkan semua tradisi lokal, mulai dari Peh Cun hingga Debus. Sekolah-sekolah pun diajak berpartisipasi dalam pentas seni daerah agar siswa mengenal akar budaya mereka. Dengan pendekatan yang lebih kekinian, warisan leluhur ini bisa terus hidup berdampingan dengan kemajuan zaman.

Dari ritual Nadran di pesisir, Peh Cun di Sungai Cisadane, hingga Serentaun di pedesaan, setiap tradisi lokal masyarakat Tangerang menyimpan nilai luhur tentang syukur, kebersamaan, dan penghormatan terhadap Tuhan serta alam. Tradisi-tradisi ini adalah cerminan jati diri masyarakat Tangerang yang berakar kuat pada budaya Banten dan Betawi Peranakan.

Di tengah derasnya modernisasi, upaya melestarikan tradisi menjadi tanggung jawab bersama. Generasi muda perlu mengenali dan mencintai warisan leluhur agar nilai kebersamaan, toleransi, dan gotong royong tetap menjadi bagian dari kehidupan Tangerang masa depan.

FAQ

1. Apa tradisi paling terkenal di Tangerang?
Tradisi Peh Cun di Sungai Cisadane dan Nadran di pesisir Teluknaga merupakan yang paling dikenal hingga mancanegara.

2. Apakah masih ada kesenian tradisional di Tangerang?
Masih ada, seperti Debus Banten, Gambang Kromong, dan Tanjidor yang kerap tampil di acara budaya.

3. Apa makna utama dari tradisi Sedekah Bumi?
Sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil bumi serta sarana mempererat kebersamaan warga.

4. Bagaimana cara pemerintah menjaga kelestarian budaya di Tangerang?
Melalui festival budaya, pelatihan seni tradisional, dan promosi wisata budaya di media digital.

5. Kapan waktu terbaik untuk menyaksikan tradisi Tangerang?
Biasanya antara bulan Mei hingga Agustus saat digelar Festival Budaya Cisadane dan pesta adat panen.

Exit mobile version